Sabtu, 23 Juni 2012

Linkin Park In The End Lyrics ( pada akhirnya)


It starts with one thing
Dimulai dengan satu hal
I don’t know why
Saya tidak tahu mengapa
It doesn’t even matter how hard you try keep that in mind
Bahkan tidak peduli seberapa keras Anda mencoba mengingatnya
I designed this rhyme
Saya merancang sajak ini
To explain in due time
Untuk menjelaskan pada waktunya
All I know
Yang aku tahu
Time is a valuable thing
Waktu adalah hal yang berharga
Watch it fly by as the pendulum swings
Jam terbang sebagai ayunan pendulum
Watch it count down to the end of the day
Jam itu menghitung mundur ke akhir hari
The clock ticks life away
Jam menandai kehidupan jauh
It’s so unreal
Ini sangat tidak nyata
Didn’t look out below
Tidak terlihat di bawah ini
Watch the time go right out the window
Perhatikan waktu saat bepergian ke luar jendela
Trying to hold on, but didn’t even know
Mencoba untuk bertahan, tetapi bahkan tidak tahu
Wasted it all just to watch you go
Terbuang itu semua hanya untuk menonton Anda pergi
I kept everything inside and even though I tried, it all fell apart
Aku terus segala sesuatu di dalam dan meskipun aku mencoba, semuanya berantakan
What it meant to me will eventually be a memory of a time when
Apa artinya bagi saya pada akhirnya akan menjadi memori saat

I tried so hard
Aku berusaha keras
And got so far
Dan sampai jauh
But in the end
Namun pada akhirnya
It doesn’t even matter
Bahkan tidak peduli
I had to fall
Aku harus jatuh
To lose it all
Untuk kehilangan semuanya
But in the end
Namun pada akhirnya
It doesn’t even matter
Bahkan tidak peduli

One thing, I don’t know why
Satu hal, saya tidak tahu mengapa
It doesn’t even matter how hard you try, keep that in mind
Bahkan tidak peduli seberapa keras Anda mencoba, selalu ingat itu
I designed this rhyme, to explain in due time
Saya merancang sajak ini, untuk menjelaskan pada waktunya
I tried so hard
Aku berusaha keras
In spite of the way you were mocking me
Terlepas dari cara Anda mengejek saya
Acting like I was part of your property
Bertindak seperti aku adalah bagian dari properti anda
Remembering all the times you fought with me
Teringat saat-saat Anda berjuang dengan saya
I’m surprised it got so (far)
Aku heran itu bisa jadi (ini)
Things aren’t the way they were before
Hal yang bukan cara mereka sebelum
You wouldn’t even recognize me anymore
Anda bahkan tidak mengenali saya lagi
Not that you knew me back then
Bukan berarti Anda mengenal saya saat itu
But it all comes back to me (in the end)
Tapi itu semua kembali ke saya (pada akhirnya)

You kept everything inside and even though I tried, it all fell apart
Anda terus segala sesuatu di dalam dan meskipun aku mencoba, semuanya berantakan
What it meant to me will eventually be a memory of a time when I
Apa artinya bagi saya pada akhirnya akan menjadi kenangan waktu ketika saya
Chorus

I’ve put my trust in you
Aku menaruh kepercayaan kepada kamu
Pushed as far as I can go
Mendorong sejauh yang saya bisa pergi
And for all this
Dan untuk semua ini
There’s only one thing you should know (2x) Chorus
Hanya ada satu hal yang harus tahu (2x) * Chorus


Artikel Pendekatan E.Commerce ala indonesia


e-Commerce  alias perdagangan elektronik via Internet/ Online memang sudah lama jadi minat pribadi. Alasannya gampang saja, ternyata Internet ini cenderung makin sedikit biaya yang dikeluarkan, dibandingkan dengan potensi Nilai Ekonomi dan kesempatan kemandirian finansial yang diberikan begitu besar.

Sayangnya saya sudah cukup ‘berumur’ mengenal Internet ( tahun 90an saat bekerja sebagai IS Support/ analyst di BEJ ), dan itupun karena ‘kecelakaan’ salah satu konsultan internet di Bursa Efek Jakarta (BEJ) dulu, saat itu konsultan ybs tidak berhasil menyelesaikan tugasnya menyediakan website BEJ sesuai spesifikasi yg dijanjikan.

Dan sebagai internal counterpart yang fungsinya juga sbg Tim IS Support, maka jadilah dengan segala keluguan dan keminiman pengalaman, curiosity saya menyatakan berani melaksanakan tugas ‘darurat’ perbaikan website BEJ apa adanya saat itu…
Tentu saja keberadaan Internet Searching Engine, dan beberapa kolega/ mitra yang tak segan mensharing ilmunya, banyak sekali memudahkan pelaksanaan tugas berbasis teknologi baru tsb sambil belajar sana sini. Tujuannya menyederhanakan antrian pembagian laporan harian perdagangan bursa kepada ratusan emiten agar bisa digantikan melalui teknologi internet yg sedang booming euforia ( sekaligus company profile dan market announcement BEJ ), akhirnya bisa saya selesaikan sedikit demi sedikit.
Hasilnya ? jangan dibandingkan dengan teknologi web seperti sekarang… yang jelas para emiten saat itu cukup puas, dan internal organisasi BEJ menyikapi dengan responsif dan kondusif, sungguh pengalaman proses belajar yg membahagiakan. Bisa jadi Tuhan memberikan firasat dan hidayahNya kepada saya, bahwa selanjutnya dengan tema ‘INTERNET’ lah rejeki dan karir saya mengalir…. sampai sekarang
Oleh karena itu sebelum cuap-cuap terkait ide bagaimana menyikapi Internet ekonomi/ e-commerce a la Indonesia ini, saya dengan rendah hati mengakui bahwa diri ini memang bukan sepenuhnya akademisi ahli, tapi ‘cuma’ seorang autodidak yang rajin membaca, praktisi partially e-commerce di indonesia selama bekerja belasan tahun, bahkan sebelum berhasil lulus kuliah… Justru pengalaman e-commerce unik ala indonesia itulah yg mengenalkan saya menjadi salah satu penggiat di dunia akademik dan jadi terus rajin belajar walalu dibayar ‘murah’ sebagai dosen tidak tetap sampai sekarang hahhaha… mohon maaf rada ‘curcol’
OK lah supaya menarik saya coba berikan komentar ‘pribadi’ sebagai praktisi mengenai regulasi dan animo masyarakat berdagang di internet… Sudah jelas keberadaan fondasi infrastruktur (ict) yang lemah dan suprakstruktur (regulasi, edukasi) yg jauh dari cukup , dapat membuat kita menilai bajhwa pemerintah memang serba telat. Tapi warga yg kreatif sudah melihat kesempatan ini sejak lama dengan kondisi apa adanya… Maka itu budaya kepercayaan (trust, trust, trust) komunitas based on ‘ngerumpi’ jadi suatu dasar keberanian yg kuat sbg inisiasi e-commerce secara bottom-up (aka gerilya), walaupun tiada dukungan cukup dr pemerintah :p
Fenomena ini sudah cukup cerdas dimanfaatkan oleh para startup enterpreuneur bahkan dari asing untuk menggali ‘receh’ via ecommerce di indonesia ( lihat tautan artikel ttg tokobagus.com di facebook ), meskipun risiko mereka adalah masalah cyberlaw dan kealfaan mekanisme pembayaran online yg lebih cepat & terpercaya… Maka itu berdasarkan laporan kepolisian dan kasus2 hukum yg makin beragam terkait penyelewengan transaksi di internet, maka pemerintah mulai menetapkan UU ITE yg masih kebanyakan pasal karet, dan kurangnya edukasi yg selaras dengan kapasitas para aparatnya sendiri … Bahkan bdsk berita bisnis indonesia kemarin “jual beli via internet mulai diatur” ada kemungkinan mekanisme aturan perdagangan mulai dikembangkan, mudah2an akan berlanjut ke payment gateway yg terintegrasi dengan sistem cyberlaw, dan berdampak integrasi teknologi ICT yg makin baik ? ( agak utopia ya? )
Ajaibnya … kalo kata orang jawa “masih untung”, orang asing bilang “blessing in disguise” dari kealfaan infrastruktur dan longgarnya mekanisme hukum internet di Indonesia adalah semakin mudah, murah dan ‘berani’ nya masyarakat awam memanfaatkan (aka belajar coba2) internet untuk berjualan, terutama via mobile gadget… sbg dampak perang tarif operator selular ( baca majalah trust 1 bulan lalu ), yg dari sisi positif tentu sangat mendukung peningkatan mental enterpreuneurship.
Bagaimanapun sisi negatif komunitas awam adalah berpotensi menjadi para oportunis yg secara sengaja atau tidak dihinggapi nafsu kriminal memanipulasi tipu-tipu di dunia maya ( saya salah satu korban cybercrime di facebook )… sayangnya fenomena kriminalitas di media sosial ini ada kecenderungan meningkat, meskipun tidak ada laporan resmi karena mungkin nilai kerugian tidak terlalu besar (dan gengsi berhasil kena tipu) bisa jadi besarnya korbancybercrime seperti fenomena gunung es!
Oleh karena itu barangkali meski telat dan jauh dari sempurna, pemerintah sudah sejak 2 tahun lalu menyusun UU ITE, dan kini mulai masuk kedalam langkah yang lebih taktis, yaitu diagnosa, persiapan atau perluasan delik-delik pelanggaran transaksi internet ke perangkat hukum yang sudah ada (KUHAP), maupun sosialisasi peraturan perdagangan baru mungkin oleh Depperindag, juga pengawasan transaksi keuangan/ perbankan oleh BI dan Depkeu.
Masalahnya, ada kecenderungan persepsi mayoritas orang indonesia, jika sudah bicara ICT maka fokus hanya pada delik-delik pengadaan dan implementasi teknis… kajian lain seputar manajemen risiko, adaptasi budaya lokal, cost benefit jangka pendek s.d panjang, maupun komitmen pada edukasi dan regulasi sering dianggap bisa berjalan ‘belakangan’ ( yang penting ada dulu deh…), akibatnya langkah-langkah pemerintah seringkali sekedarreaktif (aka tambal sulem) :p
Komunitas warga kita-pun yang kebanyakan fokus pada technical freaks (termasuk dunia akademis), padahal e-commerce itu perlu tinjauan multi-dimensi ( ilmu sosial, ilmu exacta, bahkan budaya ) … karena rasanya sangat naif jika sekedar mengikuti tren/ teori barat , lalu bermimpi sepenuhnya bisa terapkan e-commerce ideal di Indonesia yg penduduknya terbanyak ke 5 didunia, dan dikenal ‘mengaku’ muslim terbesar di dunia ( sekaligus mungkin cukup besar yg not well educated )… LALU kenapa tidak mungkin menciptakan e-commerce khas masyarakat Indonesia dulu ???
Lalu bagaimana pendekatan yang terbaik buat Indonesia ?
Mungkin anda perlu tahu bahwa penjelasan saya bisa jadi subyektif, dan tidak cukup kuat sebagai rujukan akademis, tapi saya disini sekedar share ‘curcol’ dengan pemerhati e-commerce spt anda, siapa tahu semangat inovatif dan inspirasi yg lebih positif bisa muncul dari generasi anda dimasa depan bukan ?
Okay setelah ngalor ngidul dengan ‘curcol’ saya seputar e-commerce diatas, maka saya pikir ada beberapa faktor yg perlu kita perhatikan dari nasib Indonesia :

(+)
Religius (ISLAM) sekaligus Liberally Open minded ( moga2 ujungnya bukan bangsa munafik )
(+) Masyarakat Komunal ( ngerumpi dan butuh referensi kolega terdekat )
(+) 5 besar jumlah penduduk Dunia ( populasi remaja mayoritas )
(+) Jumlah Operator Seluler terbanyak didunia ( selain seru perang tarif, BRTI juga mumet ngatur perang frekuensi)
(+) 5 besar pelanggan seluler dan penjualan/kepemilikan HP
(+) 5 besar pertumbuhan akses internet
(+/-) Perkembangan sektor riil industri ICT dan pendukungnya terus berkembang
(-) Kualitas & kuantitas Infrastruktur ICT tidak merata
(-) Kualitas & kuantitas kecukupan pendidikan SDM 20% saja (?)
(-) Kualitas Integrasi data kependudukan dengan sistem keuangan buruk
(-) Kualitas Good corporate Governance & Suprastruktur Incumbents belum optimal
(-) Kualitas & kuantitas Pemberdayaan Mikro dan UKM belum optimal
Nah dari faktor-faktor yg bernuansa positif dan negatif diatas, saya cenderung berharap regulasi pemerintah yg reaktif tsb tidak mematikan semangat enterpreneurship WNI. Oleh karena itu demi kualitas dan kesinambungan gembar-gembor pemerintah itu, alangkah baiknya initialisasi kebijakan e-commerce oleh pemerintah mulai dariskema B2B dilingkungan pemerintah sendiri , perusahaan TBK & MNC sebagai raw model ( e-goverment, e-procurement national).
Namun jika itupun masih dirasa utopia, maka infrastruktur linked national payment gateway perlu jadi fokus utama, bersamaan dengan berbagai model institusi serta suprastruktur yang memayunginya ( banks, funder, depkeu/depdag, BI, isp/operator, bursa saham/komoditas, ict services/provider ). Sehingga pemerintah bisa memaksa/ memarketingkan layanan payment gateway tsb dg biaya yg murah dg nilai tambah yg berlimpah ( potong pajak, inc jasa pengiriman dll ) kepada para Produsen maupun konsumen internet Indonesia.
Sebaliknya dan sebaiknya… bottom up, lembaga sosial masyarakat juga mulai mensosialisasikan moralitas dalam utilisasi e-commerce dalam pencerahan sehari-hari, sebagai pemberdayaan masyarakat lokal menguasai dan menyikapi cara2 alternatif kemandirian ekonomi sebagai bentuk amal ibadah, sekaligus produktifitas halal dalam memanfaatkan internet. Kelihatannya depsos dan NGO asing/lokal bisa berkolaborasi untuk pembinaan dan pengendalian mutu implementasinya.
Satu hal yang agak merisaukan saya, adalah kelemahan incumbents terkait mekanisme ‘KONTROL’… saya yakin mereka paham soal konsep COBIT, SOA atau ITIL dalam implementasi ICT di bisnis… namun itu gak cukup jika tidak memiliki Teknologi Canggih pemantauan teknologi keamanan data, dan traffic internet Nasional yang kuat untuk menyokong suprastruktur yg ditakuti cybercrime. Dan ini bisa jadi sangat mahal, relakah/ kuatkah APBN kita? … ( RRC kabarnya menghabiskan dana 1/3 APBN nya untuk menjaga internet nasional mereka, dan Amerika punya NSA serta jaringan super komputer untuk cegah tangkal cyber crime ).

Sumber :

Tanggal mengakses halaman web : Sabtu,23 Juni 2012 pkl. 21 : 13



   www.gunadarma.ac.id