e-Commerce alias perdagangan elektronik via Internet/
Online memang sudah lama jadi minat pribadi. Alasannya gampang
saja, ternyata Internet ini cenderung makin sedikit biaya yang dikeluarkan,
dibandingkan dengan potensi Nilai Ekonomi dan kesempatan kemandirian finansial
yang diberikan begitu besar.
Sayangnya saya sudah cukup ‘berumur’ mengenal Internet (
tahun 90an saat bekerja sebagai IS Support/ analyst di BEJ ), dan itupun
karena ‘kecelakaan’ salah satu konsultan internet di Bursa Efek Jakarta (BEJ)
dulu, saat itu konsultan ybs tidak berhasil menyelesaikan tugasnya menyediakan
website BEJ sesuai spesifikasi yg dijanjikan.
Dan sebagai internal counterpart yang fungsinya juga sbg Tim IS
Support, maka jadilah dengan segala keluguan dan keminiman pengalaman, curiosity
saya menyatakan berani melaksanakan tugas ‘darurat’ perbaikan website BEJ apa
adanya saat itu…
Tentu saja keberadaan Internet Searching Engine, dan
beberapa kolega/ mitra yang tak segan mensharing ilmunya, banyak sekali
memudahkan pelaksanaan tugas berbasis teknologi baru tsb sambil belajar sana
sini. Tujuannya menyederhanakan
antrian pembagian laporan harian perdagangan bursa kepada ratusan emiten agar
bisa digantikan melalui teknologi internet yg sedang booming euforia
( sekaligus company profile dan market announcement BEJ ),
akhirnya bisa saya selesaikan sedikit demi sedikit.
Hasilnya ? jangan dibandingkan dengan teknologi web seperti sekarang…
yang jelas para emiten saat itu cukup puas, dan internal organisasi BEJ
menyikapi dengan responsif dan kondusif, sungguh pengalaman proses belajar yg
membahagiakan. Bisa jadi Tuhan memberikan firasat dan hidayahNya kepada saya,
bahwa selanjutnya dengan tema ‘INTERNET’ lah rejeki dan karir saya mengalir….
sampai sekarang
Oleh karena itu sebelum cuap-cuap terkait ide bagaimana menyikapi
Internet ekonomi/ e-commerce a la Indonesia ini, saya dengan rendah hati
mengakui bahwa diri ini memang bukan sepenuhnya akademisi ahli, tapi ‘cuma’
seorang autodidak yang rajin membaca, praktisi partially e-commerce di
indonesia selama bekerja belasan tahun, bahkan sebelum berhasil lulus kuliah…
Justru pengalaman e-commerce unik ala indonesia itulah yg mengenalkan
saya menjadi salah satu penggiat di dunia akademik dan jadi terus rajin belajar
walalu dibayar ‘murah’ sebagai dosen tidak tetap sampai sekarang hahhaha… mohon
maaf rada ‘curcol’
OK lah supaya menarik saya coba berikan komentar ‘pribadi’
sebagai praktisi mengenai regulasi dan animo masyarakat berdagang di
internet… Sudah jelas keberadaan fondasi
infrastruktur (ict) yang lemah dan suprakstruktur (regulasi, edukasi) yg jauh dari cukup , dapat
membuat kita menilai bajhwa pemerintah memang serba telat. Tapi warga yg
kreatif sudah melihat kesempatan ini sejak lama dengan kondisi apa adanya… Maka
itu budaya kepercayaan (trust, trust, trust) komunitas based on
‘ngerumpi’ jadi suatu dasar keberanian yg kuat sbg inisiasi e-commerce
secara bottom-up (aka gerilya), walaupun tiada dukungan cukup dr
pemerintah :p
Fenomena ini sudah cukup cerdas dimanfaatkan oleh para
startup enterpreuneur bahkan dari asing untuk menggali ‘receh’ via ecommerce di
indonesia ( lihat tautan artikel ttg tokobagus.com di facebook ), meskipun risiko mereka adalah masalah cyberlaw
dan kealfaan mekanisme pembayaran online yg lebih cepat & terpercaya… Maka
itu berdasarkan laporan kepolisian dan kasus2 hukum yg makin beragam terkait
penyelewengan transaksi di internet, maka pemerintah mulai menetapkan UU ITE yg
masih kebanyakan pasal karet, dan kurangnya edukasi yg selaras dengan kapasitas
para aparatnya sendiri
… Bahkan bdsk berita bisnis indonesia kemarin “jual beli via
internet mulai diatur” ada kemungkinan mekanisme aturan perdagangan mulai
dikembangkan, mudah2an akan berlanjut ke payment gateway yg terintegrasi dengan
sistem cyberlaw, dan berdampak integrasi teknologi ICT yg makin baik ? ( agak utopia
ya? )
Ajaibnya … kalo kata orang jawa “masih untung”, orang asing
bilang “blessing in disguise” dari kealfaan infrastruktur dan longgarnya
mekanisme hukum internet di Indonesia adalah semakin mudah, murah dan ‘berani’
nya masyarakat awam memanfaatkan (aka belajar coba2) internet untuk berjualan,
terutama via mobile gadget… sbg dampak perang tarif operator selular ( baca
majalah trust 1 bulan lalu ), yg dari sisi positif tentu sangat mendukung
peningkatan mental enterpreuneurship.
Bagaimanapun sisi negatif komunitas awam adalah berpotensi
menjadi para oportunis yg secara sengaja atau tidak dihinggapi nafsu
kriminal memanipulasi tipu-tipu di dunia maya ( saya salah satu korban
cybercrime di facebook )… sayangnya fenomena kriminalitas di media sosial
ini ada kecenderungan meningkat, meskipun tidak ada laporan resmi karena
mungkin nilai kerugian tidak terlalu besar (dan gengsi berhasil kena tipu) bisa
jadi besarnya korbancybercrime seperti fenomena gunung es!
Oleh karena itu barangkali meski telat dan jauh dari
sempurna, pemerintah sudah sejak 2 tahun lalu menyusun UU ITE, dan kini mulai
masuk kedalam langkah yang lebih taktis, yaitu diagnosa, persiapan atau
perluasan delik-delik pelanggaran transaksi internet ke perangkat hukum yang
sudah ada (KUHAP), maupun sosialisasi peraturan perdagangan baru mungkin oleh
Depperindag, juga pengawasan transaksi keuangan/ perbankan oleh BI dan Depkeu.
Masalahnya, ada kecenderungan persepsi mayoritas orang
indonesia, jika sudah bicara ICT maka fokus hanya pada delik-delik pengadaan
dan implementasi teknis… kajian lain seputar manajemen risiko, adaptasi budaya
lokal, cost benefit jangka pendek s.d panjang, maupun komitmen pada
edukasi dan regulasi sering dianggap bisa berjalan ‘belakangan’ ( yang penting
ada dulu deh…), akibatnya langkah-langkah pemerintah seringkali sekedarreaktif
(aka tambal sulem) :p
Komunitas warga kita-pun yang kebanyakan fokus pada technical
freaks (termasuk dunia akademis), padahal e-commerce itu perlu
tinjauan multi-dimensi ( ilmu sosial, ilmu exacta, bahkan budaya ) … karena
rasanya sangat naif jika sekedar mengikuti tren/ teori barat , lalu bermimpi
sepenuhnya bisa terapkan e-commerce ideal di Indonesia yg penduduknya
terbanyak ke 5 didunia, dan dikenal ‘mengaku’ muslim terbesar di dunia (
sekaligus mungkin cukup besar yg not well educated )… LALU kenapa tidak
mungkin menciptakan e-commerce khas masyarakat Indonesia dulu ???
Lalu bagaimana pendekatan yang
terbaik buat Indonesia ?
Mungkin anda perlu tahu bahwa penjelasan saya bisa jadi subyektif,
dan tidak cukup kuat sebagai rujukan akademis, tapi saya disini sekedar
share ‘curcol’ dengan pemerhati e-commerce spt anda, siapa tahu
semangat inovatif dan inspirasi yg lebih positif bisa muncul dari generasi anda
dimasa depan bukan ?
Okay setelah ngalor ngidul dengan ‘curcol’ saya seputar
e-commerce diatas, maka saya pikir ada beberapa faktor yg perlu kita
perhatikan dari nasib Indonesia :
(+) Religius (ISLAM) sekaligus Liberally Open minded ( moga2
ujungnya bukan bangsa munafik )
(+)
Masyarakat Komunal ( ngerumpi dan butuh referensi kolega terdekat )
(+) 5
besar jumlah penduduk Dunia ( populasi remaja mayoritas )
(+)
Jumlah Operator Seluler terbanyak didunia ( selain seru perang tarif, BRTI juga
mumet ngatur perang frekuensi)
(+) 5
besar pelanggan seluler dan penjualan/kepemilikan HP
(+) 5
besar pertumbuhan akses internet
(+/-) Perkembangan sektor riil industri ICT dan pendukungnya
terus berkembang
(-)
Kualitas & kuantitas Infrastruktur ICT tidak merata
(-)
Kualitas & kuantitas kecukupan pendidikan SDM 20% saja (?)
(-)
Kualitas Integrasi data kependudukan dengan sistem keuangan buruk
(-)
Kualitas Good corporate Governance & Suprastruktur Incumbents belum optimal
(-)
Kualitas & kuantitas Pemberdayaan Mikro dan UKM belum optimal
Nah dari faktor-faktor yg bernuansa positif dan negatif
diatas, saya cenderung berharap regulasi pemerintah yg reaktif tsb tidak
mematikan semangat enterpreneurship WNI. Oleh karena itu demi kualitas dan
kesinambungan gembar-gembor pemerintah itu, alangkah baiknya initialisasi
kebijakan e-commerce oleh pemerintah mulai dariskema B2B
dilingkungan pemerintah sendiri , perusahaan TBK & MNC sebagai raw model
( e-goverment, e-procurement national).
Namun jika itupun masih dirasa utopia, maka
infrastruktur linked national payment gateway perlu jadi fokus utama, bersamaan dengan berbagai model
institusi serta suprastruktur yang memayunginya ( banks, funder, depkeu/depdag,
BI, isp/operator, bursa saham/komoditas, ict services/provider ). Sehingga
pemerintah bisa memaksa/ memarketingkan layanan payment gateway
tsb dg biaya yg murah dg nilai tambah yg berlimpah ( potong pajak, inc jasa
pengiriman dll ) kepada para Produsen maupun konsumen internet Indonesia.
Sebaliknya dan sebaiknya… bottom up, lembaga sosial
masyarakat juga mulai mensosialisasikan moralitas dalam utilisasi e-commerce
dalam pencerahan sehari-hari, sebagai pemberdayaan masyarakat lokal menguasai
dan menyikapi cara2 alternatif kemandirian ekonomi sebagai bentuk amal ibadah,
sekaligus produktifitas halal dalam memanfaatkan internet. Kelihatannya depsos
dan NGO asing/lokal bisa berkolaborasi untuk pembinaan dan pengendalian mutu
implementasinya.
Satu hal yang agak merisaukan saya, adalah kelemahan incumbents
terkait mekanisme ‘KONTROL’… saya yakin mereka paham soal konsep COBIT, SOA
atau ITIL dalam implementasi ICT di bisnis… namun itu gak cukup jika tidak
memiliki Teknologi Canggih pemantauan teknologi keamanan data, dan traffic
internet Nasional yang kuat untuk menyokong suprastruktur yg ditakuti
cybercrime. Dan ini bisa jadi sangat mahal, relakah/ kuatkah APBN kita? … (
RRC kabarnya menghabiskan dana 1/3 APBN nya untuk menjaga internet nasional
mereka, dan Amerika punya NSA serta jaringan super komputer untuk cegah tangkal
cyber crime ).
Sumber
:
Tanggal mengakses halaman web : Sabtu,23 Juni 2012 pkl. 21 : 13
www.gunadarma.ac.id